Sore
itu aku menemaninya belajar. Agak aneh karena ini hari libur, libur panjang
kenaikan kelas. Kami belajar khusus untuk persiapannya menghadapi tes penentuan
jurusan di SMA. Andai aku yang menentukan, tentu aku memasukkannya ke jurusan
IPA. Itu berdasarkan pengamatanku selama dua tahun. Dia terlalu malas membaca
dan terlalu alergi dengan ilmu sosial, entah sejak kapan.
Sore
itu dia tampak lesu. Tidak seperti biasanya.
“aku
lagi puasa Bu...” dia mengeluh.
Aku
diam saja. Menunggunya menegakkan badannya supaya kami bisa belajar. Aku memaklumi
kelelahannya karena saat itu pukul tiga sore dan tampaknya dia memang sudah mulai
lapar dan haus. Aku pun sempat bingung ketika dia minta ditemani belajar di
hari itu.
Setelah
puluhan menit belajar, dia meletakkan pensilnya.
“Bu,
tau ngga, ada 160 anak. Kami dipilih gitu...”
“Dipilih
berapa orang?”
“Ngga
tau. Tapi yang angkatan sebelumnya, 3 kelas IPA, 2 kelas IPS”
“Ooo...”
“Bu,
kalo aku ngga di terima di IPA gimana?”
“Memangnya
kenapa? Mungkin itu caranya supaya kamu mau lebih rajin baca”
“Tapi
kan...”
“Memangnya
cita-citamu apa? Harus dari IPA?”
“Aku
ngga punya cita-cita. Jangan tanya itu, aku sedih...”
Aku
diam sejenak. Menulis soal untuk latihannya. Badanku di ruangan itu, tapi
pikiranku pergi jauh sekali. Ada yang salah...