Wajib Baca

Mengenai Saya

Foto saya
Weblog ini asli diisi oleh Sarma Manurung

Senin, 23 September 2013

Naruto di Buniayu

“Ya Tuhan pencipta semesta, temani aku selama perjalanan ini. Jika aku terpeleset hingga terjatuh, bantulah aku untuk tetap tersadar. Jika kepalaku kejedot, bantulah aku untuk tetap tersadar. Biarlah aku tetap sadar supaya bisa menyadari betapa kecilnya aku di antara ciptaanmu yang besar…”

Belakang : Synthia, Cina. Depan : Sarma, Shinta, Monic, Priska

Ini cerita tentang perjalanan dan pelarian. Cerita tentang 6 perempuan yang tiba-tiba sudah berada di sebuah goa di Sukabumi. Namanya Goa Buniayu, persisnya ada di daerah Nyalindung, Sukabumi propinsi Jawa Barat. Kami berenam : Sarma, Monik, Priska, Shinta, Synthia, dan Cina.
Kami memulai “petualangan” sekitar pukul 10 pagi. Lengkap dengan kostum ala Naruto dan ditemani 2 orang pemandu. Ketika berangkat, tentu kami sangat sumringah, maklum saja, kami anak gunung, bukan anak gua hehehe…
Perjalanan di mulai dari mulut gua, yang terletak kira-kira 200 meter dari pos. Kami harus turun secara vertikal sedalam 18 meter dari mulut gua. Tampaknya hal biasa, tapi ternyata tidak. Ketika kita harus memasuki sebuah tempat dimana kita tidak bisa berpijak dan tidak bisa melihat apa-apa, ternyata sungguh mengerikan. Jantungku seolah berhenti, ketika bergantungan di tali mungil itu. Untunglah kami semua tetap waras ketika sampai di dalam gua, walaupun tetap mengelus-elus dada hahaha…
Kami mulai menyusuri gua, melihat begitu banyak keajaiban. Stalagmit, stalagtit, pasir berkilau, sampai sungai di dalam gua. Aku begitu kagum dengan isinya, bukan hanya karena keindahan bentuk benda-benda itu, tapi juga karena proses terbentuknya keindahan itu. Bayangkan, selama ribuan tahun, tetesan air membentuk bongkahan-bongkahan karst itu.
kompor dengan bahan bakar air :)

Di dalam gua itu, aku melihat stalagtit berbentuk wortel, kanopi, ikan pesut, sampai stalagtit yang bisa berbunyi seperti angklung. Kulihat juga pasir-pasir seperti Kristal yang berbentuk istana. Kurasa, orang-orang India pernah ke gua ini, sehingga terpikir untuk membangun Taj Mahal. Mungkin …
Didepan pasir kristal
Seperti batu karang, ternyata stalagtit dan stalagmite sangat kuat. Tanpa sepengetahuan pemandu, aku beberapa kali memukul-mukul dinding-dinding dalam gua, hasilnya ? tanganku luka, lecet. Aku pun sempat penasaran dengan kekuatan batu-batu di tanah, ternyata kuat. Tidak pecah walaupun aku melompat-lompat di atasnya. Kagum dan bingung, mungkin kata sifat yang tepat untuk menjelaskan perasaanku saat itu.
Setelah berjalan sekitar 2 jam, kami mulai memasuki medan yang cukup menyebalkan. Lumpur mulai bertebaran dimana-mana. Kemiringannya pun semakin tinggi. Mulai susah untuk berjalan. Beberapa kali kami terpeleset. Tapi, kami masih bisa tertawa dan menganggap itu rintangan biasa.
Selama perjalanan, aku lebih sering berada persis dibelakang pemandu depan. Alasannya sederhana, karena aku takut gelap dan hanya pemandu yang membawa headlamp. Suatu ketika, di areal yang sudah lumayan sulit, aku duduk menunggu teman-teman lain. Kulihat, pak pemandu itu melakukan ritual khusus, mungkin memohon pada Sang Pencipta agar semuanya baik-baik saja. Gerakan tubuhnya, dan komat-kamit mulutnya mengingatkanku ketika Bapakku hendak melewati sungai yang besar. Sejenak aku bengong dan mulai berpikir bahwa kami akan melewati sesuatu yang sangat sulit.
Setelah kami semua berhasil meraih tempat pak pemandu depan, kami istirahat sebentar. Setelah itu, benar-benar melelahkan. Kami melewati sebuah celah sempit, terjal dan dibawahnya sungai yang katanya dalam. Aku bersusah payah melewati celah itu. Menurutku, itulah rintangan terberat yang kuhadapi selama perjalanan di gua itu. Mendebarkan. Salah langkah, gawat …Cina bahkan mengatakan “itu serius ? gue baru ngelewatin itu ?”.  Sesaat setelah berhasil melewati celah itu.
Jalur-jalur berikutnya semakin sulit, semakin menyebalkan, semakin melelahkan dan semakin mendebarkan. Langkah kami semakin pelan dan suara kami semakin hilang. Jalur dimana kami melewati tanjakan berlumpur, tidak akan kulupakan.
Dalam setiap perjalanan, aku hanya tidak ingin merepotkan orang lain. Aku tidak mampu menolong orang lain yang kesusahan. Menurutku, aku memang tidak ditakdirkan untuk menolong rekan seperjalananku. Sama seperti kejadian siang itu. Aku melihat beberapa kali teman-temanku terjatuh dan berteriak karena tidak sanggup untuk melangkah. Tapi, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya menunggu pemandu membantu mereka satu-persatu.
Aku melihat kepanikan Cina ketika melewati celah berbatu, melihat kepanikan Shinta ketika di lumpur, dan melihat bagaimana tubuh Synthia di seret dengan kasar oleh pemandu karena tak ada lagi cara untuk membantu dia. Dan aku, tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak kuat untuk menarik siapa pun. Menyedihkan. Dalam perjalanan itu, aku hanya bisa melakukan dua hal. Berjalan di depan dan menunjukkan jalur mana yang lebih nyaman dilalui serta membawakan sepatu boot teman-temanku ketika melewati jalur berlumpur. Itu yang kubisa L.
Ketika di tanjakan berlumpur, aku dan Cina duduk cukup lama. Menunggu teman-teman melewati lumpur sialan itu. Susah sekali. Maju satu langkah, terpeleset tiga langkah. Dengan susah payah, mengangkat kaki yang tertanam di lumpur. Kami melihat mereka begitu lelah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya menunggu.  Ketika tiba giliran Priska, kami benar-benar cemas. Lama sekali dia ada di dalam lumpur. Kakinya tidak bisa digerakkan. Monik berusaha menggali lumpur dikakinya, tapi telapak kakinya seolah menempel di lumpur. Aku begitu sedih ketika kudengar dia berteriak “gue mau nangis … gue gak bisa. Gak tau harus ngapain. Gue mau nangis …”. Ah Tuhan, bukan untuk itu kami datang.  Kuarahkan pandanganku ke tempat lain untuk menenangkan diri.
Menurut perkiraanku, kami butuh 40 menit lebih untuk melewati lumpur itu. Setelah semuanya bebas, rasanya begitu lega. Bersiap untuk rintangan berikutnya. Lumpur terus ada sampai di pintu gua. Rintangan terakhir yang harus kami lewati adalah tangga bambu. Harus kami panjat bersama dengan lumpur berat di tubuh dan rasa cemas kalau-kalau tangganya roboh. Di tangga inilah, kulihat teman-teman di seret. Kurasa itu sakit.
Menunggu teman-teman. Kubisikkan pada Cina “gue yakin lihat cahaya”. Dengan ngos-ngosan dia ikut melihat ke arah yang kutunjuk. Tampaknya dia tidak percaha hehehe. Aku melangkah beberapa tapak lagi, dan kulihat ada warna favoritku, hijau !!!!... Aku yakin itu pohon. Kukatakan pada Cina supaya dia bergegas, karena aku sudah melihat pohon. Walaupun berada puluhan meter di atas kepalaku, aku yakin itu pohon. Kusampaikan kabar baik itu ke mereka semua. Berteriak-teriak. Lupa kalau di gua tidak boleh gaduh !
Seperti cerita-cerita petualangan, semua akan indah pada waktunya. Semua akan bahagia setelah petualangan selesai. Begitulah perasaan kami. Begitu bahagia ketika akhirnya berkumpul di atas tanah dan melihat langit. Setelah empat jam lebih berada dalam kegelapan, akhirnya bisa melihat terang lagi. Gembira !!!!
Gembira !!!