Pernah ngga sih lo dateng ke seminar-seminar atau training motivasi gitu? Trus pernah lihat pembicara ngasih ceramah tentang tradisi antri orang Indonesia VS orang luar negeri? Kalo pernah, mungkin lo pernah ngalamin yang gue alamin dan rasakan ini...
Gue selalu terganggu dengan para pembicara yang ngasih contoh tradisi ngantri di negeri kita sambil ngasih gambar orang antri di kereta atau busway di NEGARA KITA, lalu nampilih orang-orang bule yang lagi ngantri nunggu kereta di NEGARAnya. Kesel ngga sih lo ngelihatnya? Ngga ya?..ya udah, berarti gue doank...wkwk...
Jadi gini, gue kan guru matematika, saban hari ketemu angka dan bilangan...makanya, gue tuh jadi penuh perhitungan. Mulai dari perhitungan uang, waktu sampe saingan...
Selama belasan tahun, gue tuh jadi pelanggan angkot, bis, busway, ojek dan kereta. Tanpa bermaksud ngeledek orang-orang yang ngga bisa ngitung, ini analisa gue kalo lo mau berkendaraan...
Mengenai Saya
Senin, 29 September 2014
Minggu, 07 September 2014
Sapi dan Pabrik
Sore itu aku menghabiskan
waktu di teras rumah bersama bapak. Ngobrol ngalor ngidul tentang kebun sawit
milik bapak dan sapi yang dia pelihara sejak beberapa bulan lalu. Sambil
menikmati tuak dan gorengan aku menceritakan keadaanku di tanah rantau. Bapak
mendengarkan dengan seksama dan tampak bangga dengan ceritaku. Tiba-tiba
terdengar suara mama dari samping rumah. Begitulah mamaku, dia sering bercerita
padahal belum berhadapan dengan lawan bicaranya.
“Si anu nangis-nangis…
stress dia” kata mama memulai ceritanya.
Ternyata seseorang di desa
tetangga baru saja kehilangan sapinya. Sapinya mati karena sakit. Keluarga itu
begitu sedih dengan kejadian itu. Aku bingung mendengar cerita itu. Mengapa
mereka harus sedemikian sedih?
“Kalo sapi bapak mati, bapak
begitu juga?”
“Mungkin ngga”
“tuh kan, kenapa harus gitu
coba?”
“Beda lah. Beda banget
donk.”
Bapak mulai bercerita bahwa
kehilangan sapi siang itu pastilah awal kemiskinan di keluarga itu. Tidak lama
lagi, anak pemilik sapi itu akan menikah. Sapi itulah yang tadinya disiapkan
untuk acara tersebut. Kalau sekarang sapi itu mati, berarti si pemilik harus
mencari cara mendapatkan uang pengganti. Bisa jadi mereka akan berhutang pada
bos berduit, bisa juga menggadaikan lahan sawit miliknya, bahkan bisa sampai
menjual lahan milik mereka.
Sebuah keluarga yang
akhirnya menjual lahannya, adalah keluarga yang segera memasuki masa-masa
sulitnya. Hidup tanpa lahan berarti harus siap menjadi kuli di lahan orang,
harus siap tidak memiliki lahan untuk beternak, dan harus siap menjadi miskin.
“memangnya, kalau dia mau jual lahan, pasti ada yang mau beli
pak?”, kutanya pada bapak.
“pastilah. Kalau ngga
tetangganya, ya tokke. Tokke itu uangnya banyak, banyak banget. Dia bisa beli
lahan kita semua. Nanti dia jual ke orang kota. Kalau udah besar, bakal jadi
pabrik”, jawab bapak sambil menghabiskan tuaknya.
Pabrik. Benda itu muncul berkali-kali
ketika aku mengikuti sebuah konferensi yang dihadiri puluhan orang muda.
Diskusi tentang kemiskinan petani dan keberlangsungan ekologi membuat
keberadaan pabrik menjadi obrolan yang menarik.
Orang mulai sibuk
membicarakan isu lingkungan. Cuaca yang semakin tidak menentu, iklim yang mulai
berubah hingga penyakit yang semakin mudah menyerang manusia. Sebagian kecil
orang mulai melakukan banyak aksi untuk memperbaiki kerusakan alam, namun
sebagian besar tidak peduli dengan apa yang terjadi pada alam. Terlalu banyak
orang yang tetap merusak ciptaan Tuhan.
Mungkin memang seperti
hukum ekonomi, tentang penawaran dan permintaan. Produsen akan tetap
memproduksi selama permintaan masih ada. Pabrik akan terus memproduksi pakaian,
selama manusia masih membutuhkan pakaian. Demikian juga kilang minyak akan
terus menggali bumi selama manusia masih butuh bahan bakar untuk mobilnya,
motornya, televisinya dan ponselnya.
Manusia mulai enggan
menggunakan anggota tubuhnya untuk memenuhi kebutuhannya. Atas nama modernitas
dan efektivitas, peran kaki dan tangan untuk bergerak semakin berkurang. Untuk
apa membuang waktu sepuluh menit menuju halte, kalau masih ada sepeda motor?
Untuk apa bersusah payah memakai kipas angin, kalau sudah ada penyejuk ruangan?
Untuk apa pula repot memasak kalau sudah ada makanan instan? Toh, hal-hal yang
lebih modern dan praktis bisa menaikkan gengsi seseorang.
Entah sejak kapan kata “gengsi”
diperkenalkan. Beberapa tahun belakangan ini, kata itu begitu sering
lalu-lalang di telingaku. Demi gengsi, orang bisa berganti-ganti ponsel tiap
bulan, demi gengsi orang menghabiskan ratusan ribu untuk segelas kopi, bahkan demi
gengsi orang rela bergaya hidup melarat asal punya mobil. Entah berapa juta
manusia harus dikorbankan demi gengsi ini?
Ponsel bukan ciptaan Tuhan.
Keberadaannya adalah hasil karya manusia, yang juga ciptaan Tuhan. Ponsel yang
kita pegang mungkin sangat menarik, fitur-fiturnya menggoda dan harganya tidak
terlalu mahal. Tapi pernahkah kita menggenggam ponsel dalam keadaan mati dan
menatapnya dalam beberapa menit?
Ponsel yang kita pegang
dibuat di pabrik, sebuah bangunan yang berdiri kokoh di atas tanah. Tanah tempat
bangunan itu berdiri dibeli oleh seorang pebisnis dari orang lain. Orang lain
itu dulunya adalah seorang petani yang mengolah tanah itu. Kini orang lain itu
adalah pekerja di pabrik itu. Apa pun pekerjaan orang lain itu di pabrik itu,
yang jelas dia adalah pekerja. Orang yang menafkahi keluarganya dengan menunggu
tanggal gajian. Berapa orang yang bernasib sama dengan orang itu? Banyak,
sebanyak barang yang harus diproduksi pabrik untuk memenuhi keinginan manusia.
Keinginan manusia yang juga ciptaan Tuhan itu menjadi penyebab ciptaan Tuhan
yang lain dikorbankan.
Apakah kita terlibat dalam
memiskinkan petani dan merusak alam? Tentu. Oleh karena itulah ketika kita
punya kesempatan untuk mencintai ciptaan Tuhan, mari kita gunakan kesempatan
itu. Tunggulah sampai ponsel kita rusak, baru menggantinya. Dengan demikian
kita pun membuat pabrik menunggu kita sebelum memproduksi ponsel baru, dengan
demikian, pebisnis pun akan menunggu kita sebelum membeli tanah yang baru, dan
dengan demikian tanah itu punya waktu lebih lama untuk bernafas sebelum beton
menimpa dirinya dan membuat nafas kita sesak.
Senin, 01 September 2014
Mendamba Buku
Siang ini, hari ini, bulan ini, gue mau curhat... atau mau ngomel-ngomel, atau mau ngeluh, atau mau apa kek namanya... yang jelas, gue kudu ngungkapin apa yang gue rasain saat ini... moga-moga gue tetep hidup aman setelah gue nulis ini di blog pribadi gue...
Lo tau kerjaan gue apa? Guru !!!!... anda benar, gue guru... anggaplah gue guru abal-abal karena hari ini gue mau ngomel-ngomel sama angin...
Lo tau tugas gue ngapain ? Ngajar lah... ngajarin murid...ratusan murid..
Sebagai guru di pinggiran Jakarta, gue terbiasa ngajarin murid-murid yang membawa buku paket ke sekolah (untuk kasus buku ini, gue selalu kalah sama guru-guru yang punya kemampuan ngajar walau anak2nya ngga bawa buku).
Sebagai guru di sekolah yang menerima dana BOS, saat ini gue lagi galau... galau parah... lo tau kenapa? karena buku dari pemerintah belom nyampe ke sekolah gue... serius, gue beneran serius...
Gue sebenernya sangat berterima kasih ke sekolah tempat gue ngajar, kenapa? karena sebenernya gue bisa meng-copy apa pun untuk keperluan ngajar... tapi, jauhhhhh di lubuk hati gue... gue sedih bingittttt... kenapa?... begini ceritanya...
Lo tau kerjaan gue apa? Guru !!!!... anda benar, gue guru... anggaplah gue guru abal-abal karena hari ini gue mau ngomel-ngomel sama angin...
Lo tau tugas gue ngapain ? Ngajar lah... ngajarin murid...ratusan murid..
Sebagai guru di pinggiran Jakarta, gue terbiasa ngajarin murid-murid yang membawa buku paket ke sekolah (untuk kasus buku ini, gue selalu kalah sama guru-guru yang punya kemampuan ngajar walau anak2nya ngga bawa buku).
Sebagai guru di sekolah yang menerima dana BOS, saat ini gue lagi galau... galau parah... lo tau kenapa? karena buku dari pemerintah belom nyampe ke sekolah gue... serius, gue beneran serius...
Gue sebenernya sangat berterima kasih ke sekolah tempat gue ngajar, kenapa? karena sebenernya gue bisa meng-copy apa pun untuk keperluan ngajar... tapi, jauhhhhh di lubuk hati gue... gue sedih bingittttt... kenapa?... begini ceritanya...
Langganan:
Postingan (Atom)