Wajib Baca

Mengenai Saya

Foto saya
Weblog ini asli diisi oleh Sarma Manurung

Minggu, 15 Februari 2015

Opung Bule Berbaju Cina


             
Sumber : Google.com
Ini cerita saja. Tidak ada jenisnya. Di sebuah planet berbentuk bulat.
                      
Pada tahun 1500an sejak kelahiran Nabi Isa, hiduplah seorang pemuda. Dia sehat, kuat dan cerdas. Tokoh idolanya adalah Yesus. Dia sedemikian mengidolakan Yesus sampai-sampai dia masuk ke sebuah komunitas bernama Serikat Yesus. Dia belajar dan bekerja keras. Oiya, dia cukup beruntung karena dilahirkan di sebuah negara yang sangat besar, sebuah kekaisaran yang sedang naik daun, yaitu Kekaisaran Romawi. Maka, dia dibesarkan dengan pandangan bahwa bangsa Roma adalah bangsa terbaik, yang lain bukan.
Puluhan tahun kemudian di negeri yang lain, seorang Opung-opung yang sudah tua, berjalan-jalan di kebunnya. Senyum-senyum sendiri melihat tempat tinggalnya. Satu tangannya bergerak menyentuh jenggot panjangnya, tangan lainnya mengibaskan jubah cinanya. Dia tampak seperti cendekiawan cina lainnya di daerah itu.
Teringat puluhan tahun silam ketika dia baru tiba di daerah itu. Ketika masyarakat pinggiran itu sedang berjuang untuk bertahan hidup. Masyarakat yang menjadi bagian dari sebuah kekaisaran yang besar, kekaisaran Cina. Namun, siapalah mereka? Mereka tampaknya hanya kebetulan menjadi bagian dari kekaisaran itu. Toh, mereka tetap hidup dalam kondisi miskin.

Pemuda itu datang kesana dan menjadi bagian dari mereka. Mempelajari tradisi daerah itu, mempelajari bahasa setempat dan juga mempelajari Confusius, yang merupakan ajaran keagamaan disana. Dia mempelajari itu semua dengan harapan bahwa kelak keadaan akan menjadi lebih baik. Setelah bertahun-tahun belajar, dia pun mulai mengajar. Mengajar banyak hal yang dia tahu. Tentu dia tahu banyak, karena dia pemuda yang cerdas. Dia adalah ahli matematika, hukum dan astronomi.  Dia memilih mengajar orang-orang kecil itu, sebelum akhirnya berhasil masuk ke istana kaisar dan bernegosiasi untuk kebaikan bersama.
“Siapa kau dan apa maksudmu?” tanya Sang Kaisar.
“Aku Li Ma Tu. Aku hendak memberikan peta buatanku ini untuk kaisar”
“Hmm… Kau tampak berbeda.”
“Iya Tuan, aku memang berbeda. Aku datang dari jauh, sangat jauh. Di daerah asalku, aku dipanggil Matteo Ricci” kata Li sambil membuka peta buatannya.
“Dimana kau tinggal?”
“Saat ini aku tinggal di pinggiran kekaisaran Tuan. Tapi dulu, aku berasal dari negeri lain. Disini Tuan”, kata Li sambil menunjuk kekaisaran Roma di peta.
Kaisar tentu kaget melihat peta itu. Bagaimana mungkin ada bangsa besar lainnya selain bangsanya ? Bukankah mereka adalah bangsa dari langit? Kendati curiga, perlahan-lahan kaisar mulai mendengarkan. Dia harus mendengarkan, karena Li sudah terkenal karena kebaikannya.
Hari demi hari Li Ma Tu semakin mampu mengungkapkan ide-idenya. Ide yang selalu bertujuan untuk kebaikan bersama. Rasa cintanya pada negeri itu pun semakin dalam. Kelak dia akan wafat dan dimakamkan di negeri itu. Negeri yang jauh dari tanah kelahirannya.

Pada tahun 1950an, di sebuah negeri yang sangat indah, berkumpulah sekelompok romo. Mereka juga anggota komunitas Serikat Yesus, orang-orang yang mengidolakan Yesus. Ketika itu mereka sungguh prihatin dengan kondisi orang-orang Cina di Jakarta. Orang-orang Cina, menjadi warga negara kelas kesekian di negara mereka sendiri. Jangankan menjadi pejabat, menjadi seniman pun belum tentu bisa. Semua serba dibatasi, termasuk tempat untuk bersekolah.
Akhirnya, romo-romo itu pun mendirikan sekolah. Sekolah yang khusus menampung anak-anak cina di Jakarta. Di saat sekolah lain menolak, sekolah itu menerima mereka dengan segala latar belakangnya. Sekolah itu dihadirkan untuk menghargai orang-orang yang tidak dihargai orang lain. Teringat ratusan tahun lalu ada seseorang yang begitu menghargai orang-orang miskin di cina, akhirnya sekolah itu diberi nama Sekolah Ricci.
Puluhan tahun berlalu, apakah negeri ini membaik? Tentu saja. Perekonomian, politik, pendidikan, dan teknologi berkembang. Kita tak lagi melihat diskriminasi ekstrim terhadap orang Tionghoa, semua bisa membaur, semua bisa menjadi apa saja. Lalu kemana semangat opung-opung bule berbaju cina itu?
Dia harus tetap ada. Semangatnya untuk mencintai anak-anak yang terpinggirkan harus tetap hidup. Jangan menutup mata terhadap ribuan anak yang menjadi korban perkembangan jaman edan ini.
Peningkatan ekonomi negara ini membuat ribuan anak hanya bertemu orang tuanya di akhir pekan, ribuan anak tidak pernah bercengkrama dengan orang tuanya. Perkembangan teknologi membuat semakin banyak anak dikucilkan di dunia nyata dan dunia maya. Bahkan, semakin banyak anak tidak tahu bagaimana caranya berteman. Lalu siapa yang harus mendidik mereka? Bisakah gadget? Tentu tidak. Anak-anak itu harus tetap dibimbing untuk menghadapi hidup puluhan tahun mendatang.
Hampir tiap hari, obrolan semacam ini ada di sekolah.
“Bu, aku ngga bisa ngerjainnya. Susah..”
“Coba ulang lagi, saya temenin”
“Aku kan baik bu. Ibu bilang orang baik pasti sukses. Udah ya bu..”
“Eh, kalau ada temenmu yang minta uang 15.000 dan kamu punya uang 20.000, kamu kasih ga?”
“Buat apa?”
“Buat makan. Dia lupa bawa uang jajan”
“Boleh”
“Kamu kasih berapa?”
“10.000 aja.”
“Kok ga semuanya?”
“kan saya juga harus makan bu..”
“Nah itu… kalau kamu pinter, kamu pasti bisa jadi orang baik yang cerdas”
“Tapi saya ngga pinter matematika bu. Saya kan mau jadi pemain bola”
“Iya tau… tapi kalo soal yang begini-begini kamu harus bisa, supaya nanti kamu ngga ditipu managermu…”
“Yang ini aja ya bu… yang lebih susah ngga usah..”
“Iya. Ini dulu… saya temenin…”
Siang itu berakhir dengan manis.

Andai kamu hanya hidup sampai besok, tentu perjuangan tidak harus sekeras ini. Dengan mudah bisa kuberikan nilai 70 itu. Tapi, hidupmu masih puluhan tahun. Kalau benar orang tuamu jarang pulang, ijinkan aku mengajarimu tentang ketekunan, ketelitian, kerja keras, kejujuran dan toleransi. Supaya puluhan tahun lagi, kamu tidak dikucilkan dunia, karena itu yang diajarkan opung bule berbaju cina itu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar