Pada
tahun 1500an sejak kelahiran Nabi Isa, hiduplah seorang pemuda. Dia sehat, kuat
dan cerdas. Tokoh idolanya adalah Yesus. Dia sedemikian mengidolakan Yesus
sampai-sampai dia masuk ke sebuah komunitas bernama Serikat Yesus. Dia belajar
dan bekerja keras. Oiya, dia cukup beruntung karena dilahirkan di sebuah negara
yang sangat besar, sebuah kekaisaran yang sedang naik daun, yaitu Kekaisaran Romawi.
Maka, dia dibesarkan dengan pandangan bahwa bangsa Roma adalah bangsa terbaik,
yang lain bukan.
Puluhan
tahun kemudian di negeri yang lain, seorang Opung-opung yang sudah tua,
berjalan-jalan di kebunnya. Senyum-senyum sendiri melihat tempat tinggalnya. Satu
tangannya bergerak menyentuh jenggot panjangnya, tangan lainnya mengibaskan
jubah cinanya. Dia tampak seperti cendekiawan cina lainnya di daerah itu.
Teringat
puluhan tahun silam ketika dia baru tiba di daerah itu. Ketika masyarakat
pinggiran itu sedang berjuang untuk bertahan hidup. Masyarakat yang menjadi
bagian dari sebuah kekaisaran yang besar, kekaisaran Cina. Namun, siapalah
mereka? Mereka tampaknya hanya kebetulan menjadi bagian dari kekaisaran itu.
Toh, mereka tetap hidup dalam kondisi miskin.
Pemuda
itu datang kesana dan menjadi bagian dari mereka. Mempelajari tradisi daerah
itu, mempelajari bahasa setempat dan juga mempelajari Confusius, yang merupakan
ajaran keagamaan disana. Dia mempelajari itu semua dengan harapan bahwa kelak
keadaan akan menjadi lebih baik. Setelah bertahun-tahun belajar, dia pun mulai
mengajar. Mengajar banyak hal yang dia tahu. Tentu dia tahu banyak, karena dia
pemuda yang cerdas. Dia adalah ahli matematika, hukum dan astronomi. Dia memilih mengajar orang-orang kecil itu,
sebelum akhirnya berhasil masuk ke istana kaisar dan bernegosiasi untuk
kebaikan bersama.
“Siapa
kau dan apa maksudmu?” tanya Sang Kaisar.
“Aku
Li Ma Tu. Aku hendak memberikan peta buatanku ini untuk kaisar”
“Hmm…
Kau tampak berbeda.”
“Iya
Tuan, aku memang berbeda. Aku datang dari jauh, sangat jauh. Di daerah asalku,
aku dipanggil Matteo Ricci” kata Li sambil membuka peta buatannya.
“Dimana
kau tinggal?”
“Saat
ini aku tinggal di pinggiran kekaisaran Tuan. Tapi dulu, aku berasal dari negeri
lain. Disini Tuan”, kata Li sambil menunjuk kekaisaran Roma di peta.
Kaisar
tentu kaget melihat peta itu. Bagaimana mungkin ada bangsa besar lainnya selain
bangsanya ? Bukankah mereka adalah bangsa dari langit? Kendati curiga,
perlahan-lahan kaisar mulai mendengarkan. Dia harus mendengarkan, karena Li
sudah terkenal karena kebaikannya.
Hari
demi hari Li Ma Tu semakin mampu mengungkapkan ide-idenya. Ide yang selalu
bertujuan untuk kebaikan bersama. Rasa cintanya pada negeri itu pun semakin
dalam. Kelak dia akan wafat dan dimakamkan di negeri itu. Negeri yang jauh dari
tanah kelahirannya.
Pada
tahun 1950an, di sebuah negeri yang sangat indah, berkumpulah sekelompok romo.
Mereka juga anggota komunitas Serikat Yesus, orang-orang yang mengidolakan
Yesus. Ketika itu mereka sungguh prihatin dengan kondisi orang-orang Cina di
Jakarta. Orang-orang Cina, menjadi warga negara kelas kesekian di negara mereka
sendiri. Jangankan menjadi pejabat, menjadi seniman pun belum tentu bisa. Semua
serba dibatasi, termasuk tempat untuk bersekolah.
Akhirnya,
romo-romo itu pun mendirikan sekolah. Sekolah yang khusus menampung anak-anak
cina di Jakarta. Di saat sekolah lain menolak, sekolah itu menerima mereka
dengan segala latar belakangnya. Sekolah itu dihadirkan untuk menghargai
orang-orang yang tidak dihargai orang lain. Teringat ratusan tahun lalu ada
seseorang yang begitu menghargai orang-orang miskin di cina, akhirnya sekolah
itu diberi nama Sekolah Ricci.
Puluhan
tahun berlalu, apakah negeri ini membaik? Tentu saja. Perekonomian, politik,
pendidikan, dan teknologi berkembang. Kita tak lagi melihat diskriminasi
ekstrim terhadap orang Tionghoa, semua bisa membaur, semua bisa menjadi apa
saja. Lalu kemana semangat opung-opung bule berbaju cina itu?
Dia
harus tetap ada. Semangatnya untuk mencintai anak-anak yang terpinggirkan harus
tetap hidup. Jangan menutup mata terhadap ribuan anak yang menjadi korban
perkembangan jaman edan ini.
Peningkatan
ekonomi negara ini membuat ribuan anak hanya bertemu orang tuanya di akhir
pekan, ribuan anak tidak pernah bercengkrama dengan orang tuanya. Perkembangan
teknologi membuat semakin banyak anak dikucilkan di dunia nyata dan dunia maya.
Bahkan, semakin banyak anak tidak tahu bagaimana caranya berteman. Lalu siapa
yang harus mendidik mereka? Bisakah gadget?
Tentu tidak. Anak-anak itu harus tetap dibimbing untuk menghadapi hidup puluhan
tahun mendatang.
Hampir
tiap hari, obrolan semacam ini ada di sekolah.
“Bu,
aku ngga bisa ngerjainnya. Susah..”
“Coba
ulang lagi, saya temenin”
“Aku
kan baik bu. Ibu bilang orang baik pasti sukses. Udah ya bu..”
“Eh,
kalau ada temenmu yang minta uang 15.000 dan kamu punya uang 20.000, kamu kasih
ga?”
“Buat
apa?”
“Buat
makan. Dia lupa bawa uang jajan”
“Boleh”
“Kamu
kasih berapa?”
“10.000
aja.”
“Kok
ga semuanya?”
“kan
saya juga harus makan bu..”
“Nah
itu… kalau kamu pinter, kamu pasti bisa jadi orang baik yang cerdas”
“Tapi
saya ngga pinter matematika bu. Saya kan mau jadi pemain bola”
“Iya
tau… tapi kalo soal yang begini-begini kamu harus bisa, supaya nanti kamu ngga
ditipu managermu…”
“Yang
ini aja ya bu… yang lebih susah ngga usah..”
“Iya.
Ini dulu… saya temenin…”
Siang
itu berakhir dengan manis.
Andai
kamu hanya hidup sampai besok, tentu perjuangan tidak harus sekeras ini. Dengan
mudah bisa kuberikan nilai 70 itu. Tapi, hidupmu masih puluhan tahun. Kalau benar
orang tuamu jarang pulang, ijinkan aku mengajarimu tentang ketekunan,
ketelitian, kerja keras, kejujuran dan toleransi. Supaya puluhan tahun lagi,
kamu tidak dikucilkan dunia, karena itu yang diajarkan opung bule berbaju cina
itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar