Sore
itu aku menemaninya belajar. Agak aneh karena ini hari libur, libur panjang
kenaikan kelas. Kami belajar khusus untuk persiapannya menghadapi tes penentuan
jurusan di SMA. Andai aku yang menentukan, tentu aku memasukkannya ke jurusan
IPA. Itu berdasarkan pengamatanku selama dua tahun. Dia terlalu malas membaca
dan terlalu alergi dengan ilmu sosial, entah sejak kapan.
Sore
itu dia tampak lesu. Tidak seperti biasanya.
“aku
lagi puasa Bu...” dia mengeluh.
Aku
diam saja. Menunggunya menegakkan badannya supaya kami bisa belajar. Aku memaklumi
kelelahannya karena saat itu pukul tiga sore dan tampaknya dia memang sudah mulai
lapar dan haus. Aku pun sempat bingung ketika dia minta ditemani belajar di
hari itu.
Setelah
puluhan menit belajar, dia meletakkan pensilnya.
“Bu,
tau ngga, ada 160 anak. Kami dipilih gitu...”
“Dipilih
berapa orang?”
“Ngga
tau. Tapi yang angkatan sebelumnya, 3 kelas IPA, 2 kelas IPS”
“Ooo...”
“Bu,
kalo aku ngga di terima di IPA gimana?”
“Memangnya
kenapa? Mungkin itu caranya supaya kamu mau lebih rajin baca”
“Tapi
kan...”
“Memangnya
cita-citamu apa? Harus dari IPA?”
“Aku
ngga punya cita-cita. Jangan tanya itu, aku sedih...”
Aku
diam sejenak. Menulis soal untuk latihannya. Badanku di ruangan itu, tapi
pikiranku pergi jauh sekali. Ada yang salah...
Kemudian
kuberikan soal latihan untuk dia kerjakan. Soal Matematika itu dikerjakannya tanpa
mengeluh. Sementara aku membolak-balik buku untuk menutupi kegalauan hatiku. Di
detik tertentu, aku melirik padanya. Ya Tuhan... dia menangis. Dia berusaha
menutupi tangisannya dengan mengusap matanya sesering mungkin. Aku tidak
menanyakan itu. Kutunggu saja.
Mengajarinya
Matematika atau Fisika tidak butuh kerja keras. Cukup diberi penjelasan
singkat, dia bisa paham. Kalau pun dia lupa, cukup kuingatkan sebentar, dia pun
akan bisa melanjutkannya. Lain halnya kalau kami sudah menyentuh buku Biologi.
Agak konyol memang, menemani seseorang belajar Biologi. Tapi itu belum
seberapa, beberapa bulan lalu, aku bahkan menemaninya belajar Bahasa Indonesia.
Aku memaksanya membaca. Membaca dengan bersuara supaya aku yakin dia memang
membaca. Seperti yang sudah kuceritakan, dia sangat malas membaca, karena
itulah harus ada sedikit pemaksaan J
Ketika
aku mulai menunjukkan kertas berisi materi Biologi, dia mulai beraksi. Mendadak
perlu ke toilet, mendadak HP-nya bunyi, mendadak mengeluh lapar, mendadak ingin
menelepon ayahnya, bla bla bla... Dan aku sudah bisa menebak itu.
Sambil
menunggunya menyelesaikan berbagai kegiatan mendadak itu, aku memikirkan sesuatu.
Setelah dua tahun mengenalnya, kurasa aku tidak sungguh-sungguh mengenalnya.
Dia pernah bercerita tentang keinginannya menjadi ahli sinematografi, tapi
tidak lama. Pernah juga bercerita tentang lukisan-lukisan yang tidak
kumengerti, tapi tidak lama. Lalu sekarang.... dia bahkan mengatakan tidak
punya cita-cita!
Dia
hanya ingin masuk jurusan IPA demi menghindari bacaan dan hafalan, bukan demi
cita-cita tertentu. Kurasa ada yang salah, pasti ada yang salah. Ada yang salah
entah dimana, yang membuat dia tidak punya cita-cita. Terlalu banyak yang ingin
kusalahkan, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan solusi untuk si kurus itu.
Mungkin di awal masuk sekolah nanti, aku sudah mendapat ide. Kuharap...
sama kayak saya.. malas membaca !!!
BalasHapus