Wajib Baca

Mengenai Saya

Foto saya
Weblog ini asli diisi oleh Sarma Manurung

Rabu, 27 Juli 2011

Jadwal Ulangan bab I : Bilangan Bulat

hai ... hai....
setelah sekitar 3 minggu belajar tentang Bilangan Bulat...Maka, sudah saatnya saya menguji pemahaman kalian...kalau sudah paham, ya bagus...kalo belum paham, ya nanti saya ajarin lagi di kelas remedial ...simple toh...
Nah, pengujiannya akan dilaksanakan pada :

Kelas VII A : Kamis, 4 Agustus 2011 jam ke 7-8
Kelas VII B : Jumat, 5 Agustus 2011 jam ke 7-8
Kelas VII C : Rabu, 3 Agustus 2011 jam ke 7-8

Jangan lupa mempersiapkan diri.
Eits, jangan lupa...sebelum ulangan, kalian juga wajib mengumpulkan EMAN 1 nya...Jadi, kalau mulai ulangannya jam 12 siang, maka EMAN dikumpulkan jam 12 kurang 5 menit ....EMAN-nya dikerjakan selengkap-lengkapnya...

Oiya, buat kamu-kamu yang punya nilai UKK Bab 1 dibawah 70, silahkan datang untuk UKK lagi di hari remedial (Selasa atau Kamis)...Tapi, kesempatan perbaikannya cuma SATU KALI lho...makanya, supaya aman, sebelum kamu UKK lagi, silahkan belajar dulu deh ... klik web math buat latihan ini juga boleh ...

Selamat Mempersiapkan diri ....

Senin, 25 Juli 2011

Marthina


Saya mengenal anak ini ketika di Lampung, sekitar 4 tahun lalu. Pertama kali melihat, saya pikir dia balita. Tubuhnya kecil dan kurus. Ternyata saya salah, waktu itu dia sudah 6 tahun. Tubuhnya kecil karena dia punya penyakit yang membuatnya sulit untuk gemuk. Bahkan, adiknya lebih besar secara fisik darinya.

Lama tak bertemu, tiba-tiba sekitar 2 minggu lalu saya melihat fotonya terpampang di FB yayasan tempat saya mengajar ketika di Lampung. Dituliskan bahwa Marthina sedang dirawat di rumah sakit dan sedang menunggu untuk operasi. Operasi yang mendengarnya pun aku sudah merinding. Diotaknya terdapat cairan dan harus disedot. Dituliskan bahwa keluarganya membutuhkan dana untuk operasi itu dan memohon bantuan untuk para donator.

Ketika saya membaca berita itu, maka saya langsung berpikir “okelah…nanti ke ATM, transfer …”. Seolah beres. Untuk saat itu cuma itu yang bisa saya pikirkan. Tampaknya saya tidak punya waktu untuk mengunjunginya, dan lagi pula saya bukan dokter yang mampu mengobatinya. Belakangan baru saya merencanakan untuk mengunjunginya tepat di Hari Anak Nasional, Sabtu, 23 Juli 2011.

Saya tiba di rumah sakit sekitar pukul 3 sore…sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Di tangan saya ada makanan dan boneka besar yang siap saya berikan padanya. Ketika kami bertemu, dia tersenyum…senangnya mengetahui kalau dia masih mengingat saya. Di kepalanya ada perban besar yang membalut luka tempat penyedotan cairan itu.

Obrolan saya, Marthina dan ibunya bermacam-macam topik. Mulai dari kebiasaannya sekarang hingga penyakitnya sekarang. “Jantungnya udah ngga bisa diapa-apain… tinggal otaknya aja yang masih di usahain…pokonya saya pasrahkan pada Tuhan aja”, begitu kalimat yang saya ingat.

Selama di rumah sakit, saya sering pura-pura tidak melihat ketika Marthina mengeluh kesakitan. Saya tidak tega. Tapi, kejadian ketika dokter datang untuk mengontrol dan mengganti perban di kepalanya tidak bisa saya hindari. Saya tidak punya alasan untuk keluar ruangan.

Cairan bening disuntikkan ke selang yang ditempelkan di kepalanya. Disuntikkan beberapa kali dan saya lihat cairan itu mengalir ke arah kepalanya. Tidak berapa lama, dokter melakukan sesuatu yang tidak terlalu saya pahami, yang jelas cairan itu seolah keluar lagi dari kepala Marthina. Tetapi cairan itu sekarang berwarna merah…Ahhh… kenapa saya harus melihat ini ?

Saya berusaha mencari kesibukan supaya tidak melihat kejadian itu. Tapi, telinga saya toh tetap bisa mendengar. Dia menangis selama dokter melakukan ritual itu. Menangis sekeras-kerasnya karena mungkin hanya itu yang bisa dia lakukan.

Sejenak saya protes pada Sang Pencipta. Untuk apa semua ini? Mengapa seorang bocah harus mengalami hal demikian ? Dimana kuasaMu untuk memberi kesembuhan bagi umatMu ? Tapi, apa layak saya protes pada Pencipta ? tampaknya tidak. Toh, jalanNya sering berbeda dari jalan umatNya …

Waktu itu, saya pun teringat pada Mama saya. Saya teringat ketika Mama begitu panik karena saya tidak selera makan. Yaa..dia panik hanya karena saya memuntahkan makanan. Wajah serta gerak-geriknya menandakan bahwa dia cemas. Doanya hanya untuk kesembuhan anaknya, tidak ada yang lain. Tak terbayangkan apa yang ada di pikirian ibunya Marthina. Ini bukan hanya soal selera makan. Ini tentang darah. Cairan itu bercampur darah disedot dari kepala anaknya. Dia harus mendengar rintihan anaknya dan ditambah … dia juga yang memegangi selang itu. Selang itu mengeluarkan darah anaknya, dan selang itu harus dipegangi olehnya !!! Tampaknya, kekuatan beliau ratusan kali lebih tinggi dari kekuatan mama saya. Salut untukmu Bu …

Setelah beberapa jam di rumah sakit. Saya pulang. Sebelum pulang saya berpesan pada Marthina supaya dia banyak makan. Diusianya yang 10 tahun, tentu berat badan 17 kg sangat tidak ideal. Dia tertawa sambil memegangi boneka yang saya bawa. Yaa..harusnya dia memegangi benda seperti itu. Bukan sibuk dengan perban di kepala atau selang di kaki dan kepalanya. Semoga cepat sembuh nak …

Saya keluar dari kamar itu sambil bertanya “sebegitu rahasianya kah rencanaMu, sampai-sampai ibunya pun tidak boleh tau apa yang akan terjadi ? ”

Kamis, 21 Juli 2011

Salam Kenal Angkatan 24




Mendengar pengumuman bahwa saya akan mengajar di kelas VII untuk tahun ajaran 2011-2012 membuat saya begitu senang. Senang karena saya akan mengenal anak-anak yang baru. Sebenarnya saya juga senang mengajar 2 angkatan sebelumnya, tapi karena sudah pernah mengajar mereka, maka saya sudah kenal mereka lah hehehe… Nah, kalau yang angkatan 24 ini belum pernah saya ajar dan tentunya masih “fresh from the oven”.

Yaa…mengenal anak-anak baru selalu membuat saya teringat akan mimpi-mimpi saya di dunia matematika. Mimpi bahwa suatu saat nanti matematika bisa lepas dari label “pelajaran sulit”. Mungkin label itu tidak disetujui sebagian orang, tapi… memang begitu adanya…sebagian orang masih memberikan label itu pada bidang studi yang saya ampu ini.

Angkatan 24 ini mengingatkan saya pada angkatan 22 SMPK Ricci II. Menurut saya, mereka sama-sama masih polos dan gampang diajak bercanda. Tentunya, bisa diajak serius ketika memang harus serius. Dihari pertama saya berkenalan dengan mereka, saya sedikit kecewa. Kecewa karena mereka sudah tau banyak tentang saya hehehe….

Tadinya saya berpikir akan menjadi sosok serius di angkatan 24 ini. Tapiiiiiiiiiiii….ternyata sebagian dari angkatan 24 ini adalah adik dari murid-murid saya di angkatan 21. Alhasil, bocoran tentang kebiasaan saya pun sudah ada. Gagal lah saya menjadi guru serius wakakak….

Saya ingat ekspresi bingung anak-anak itu ketika saya katakan bahwa saya tidak terlalu peduli apakah PR mereka benar atau salah, buat saya yang penting mereka sudah berusaha mengerjakan sebisanya, itu sudah cukup. Mungkin sebagian dari mereka masih berorientasi pada nilai berupa angka. Mengerjakan sesuatu karena akan diberi angka oleh gurunya.

Saya menjelaskan sebisa saya bahwa PR adalah sesuatu yang bisa mereka kerjakan sesuai dengan kepribadian mereka. Kenapa ? Karena mereka bisa mengerjakan diwaktu yang mereka suka, mereka bisa mengerjakan sambil selonjoran, mereka bisa mengerjakan sambil mendengar musik, mereka bisa mengerjakan dengan orang tuanya, mereka bisa mengerjakan bersama teman via facebook, dst. Itulah mengapa PR begitu berharga. Dan harganya, tidak bisa hanya berupa angka. Harganya harus berupa proses pengenalan diri sendiri dan orang lain.

Ketika mereka tidak bisa dan akhirnya bertanya pada orang tua, disitulah matematika hadir sebagai penghubung antara anak dan orang tua. Ketika mereka tidak bisa dan akhirnya menelepon temannya, disitulah matematika hadir sebagai penghubung antara dua remaja. Proses-proses itu lebih penting dari sekedar angka. Saya menyadari bahwa apa yang saya pikirkan ini belum tentu bisa mereka pahami. Tapi, saya tetap berharap suatu saat mereka akan menyadari itu, sama seperti kakak-kakak mereka telah menyadari itu.

Oiya, entah karena sudah terlalu tua atau ada alasan lain, yang jelas saya sulit sekali menghafal nama mereka. Sudah seminggu, dan saya baru bisa menghafal sekitar 30% anak. Payah sekali. Terkadang ketika saya harus menegor seorang anak, saya harus berputar-putar dulu, misalnya “yang belakangnya Nia siapa ? Nah, yang dikanannya itu…hmm..kamu jangan ngobrol mulu ya…”. Hadohhh…kalau begini terus, bisa-bisa waktu pelajaran habis hanya untuk berputar-putar seputar nama….moga-moga daya ingat saya kembali pulih, supaya bisa mengajar dengan lebih afdol.

Senin, 04 Juli 2011

Bintang


Bermula dari rencanaku mengisi liburan. Aku bertanya pada seorang kawan, adakah acara yang cukup seru untuk mengisi liburan dua mingguku. Kawanku itu mengenalkanku pada sebuah komunitas bernama Tlatah Bocah. Konon, akan ada acara pagelaran seni di desa-desa sekitar lereng gunung Merapi. Ketika seorang teman mengajakku ke mall, nonton bioskop, seminar, dufan atau ragunan…aku akan berpikir 5 kali untuk menerima ajakannya. Tetapi jika seorang teman mengajakku ke pantai, air terjun, danau, gunung atau laut … aku akan berpikir 5 kali untuk menolaknya. Itulah yang terjadi…aku mengikuti saran temanku itu. Kendati tidak bisa memainkan seni tradisional, minatku menonton pertunjukan seni tradisional cukup tinggi. Alasan itu pula yang menambah alasanku untuk berangkat ke Magelang.

Aku tiba di sebuah dusun bernama Ngandong. Dusun itu terletak di desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang. Aku tinggal di rumah kepada dusun yang sangat kocak tetapi cerdas. Yaaa..bapak polos itu tidak dapat menyembunyikan kecerdasannya dibalik obrolannya yang sering kali membuatku tertawa. Bapak itu Bernama Surat. Nama yang unik menurutku.

Sejak awal sudah kujelaskan pada Bu Surat bahwa aku sama sekali tidak bisa memasak dan sejujurnya tidak terlalu tertarik dengan dunia masak-memasak. Bu Surat benar-benar memahami, karena itulah aku tidak pernah dibebani acara memasak bersama. Aku cukup menikmati tugasku bersih-bersih rumah.

Di dusun itu, biasanya aku bangun pukul 6 pagi. Tentu bukan untuk menemani Bu Surat memasak, melainkan untuk duduk menghadap ke arah gunung Merapi. Duduk di depan halaman rumah Pak Surat sambil memandangi gunung yang sempat membuat warga panik itu. Aku tidak terlalu peduli dengan kulitku yang gosong karena matahari. Buatku, memandang detail lekukan gunung itu terlalu menyenangkan untuk ditinggalkan. Biasanya aku akan beranjak dari posisi itu jika matahari sudah terlalu tinggi dan awan menutupi puncak gunung itu. Setelah sarapan biasanya aku beraktivitas sesukaku di dusun itu. Terkadang mengunjungi kandang sapi milik Pak Surat, mengikuti Bu Surat menyemprot ladang cabainya, atau bermain ke sungai.

Malam hari adalah waktu favoritku. Aku sangat menikmati waktu ketika aku menatap bintang-bintang di langit. Ketika aku kecil, nenekku pernah mengatakan bahwa jika langit berbintang artinya tidak akan hujan. Yaa, selama aku tinggal di sebuah desa di Sumatera Utara, teori itu memang terbukti. Jika langit berbintang, maka aku dan teman-teman akan bermain di luar rumah. Bermain hingga mereka dipanggil orang tuaanya dan aku dipanggil Opungku untuk tidur. Tetapi teori itu tidak berlaku ketika aku mengikuti orang tuaku tinggal di daerah Tangerang. Disini, aku tidak pernah lagi melihat bintang. Aku akan melihat bintang ketika aku pergi ke Puncak bersama teman-teman atau mudik ke kampong halamanku.

Bagiku, bintang begitu indah, jauh melebihi apa pun di dunia ini. Seorang kawan pernah mengatakan “lah, sampean ini piye ? masa perempuan ga suka bunga”. Hahaha… biarlah ia menganggapku aneh. Tapi yang jelas, keindahan bunga tidak akan pernah bisa mengalahkan keindahan bintang.

Memandangi bintang sering kali membuatku menitikkan air mata. Sering membuatku teringat akan tugasku di dunia ini.

Sudahkah aku menjadi cahaya bagi orang lain? Atau justru aku telah menjadi sumber kegelapan untuk orang lain …

Sudahkah kehadiranku membawa kegembiraan bagi orang lain ? Atau justru kehadiranku telah menjadi malapetakan untuk orang lain …

Sudahkah aku menyinari kehidupan orang-orang yang sangat jauh dariku ? Atau justru hanya sibuk mencari muka terhadap orang-orang di sekitarku …

Entahlah …

Acara tidurku biasanya dimulai jika mataku sudah terlalu lelah atau bintang-bintang itu sudah mulai tidak tampak. Tidur dengan harapan akan melihat bintang-bintang itu lagi di esok hari.