Wajib Baca

Mengenai Saya

Foto saya
Weblog ini asli diisi oleh Sarma Manurung

Kamis, 22 April 2010

Seri 5 : Toni dan Kebesaran Hatinya

Cerita ini mungkin akan menjadi satu-satunya cerita yang berisi tentang kegagalan. Bercerita tentang anak bernama Toni Irawan. Saya mengenal Toni tahun 2007 di Lampung. Waktu itu dia kelas VII.

Dalam pergaulan Toni cukup aktif. Dia punya banyak teman, mungkin lebih tepatnya dia punya ”gank”. Seperti kebiasaan remaja lainnya yang suka membentuk tim-tim sepermainan. Namun dalam bidang akademik Toni cukup tertinggal. Termasuk dalam pelajaran matematika.

Toni sering mengikuti ulangan perbaikan. Baginya ulangan tanpa perbaikan adalah barang langka. Suatu ketika dia bertanya ”Miss, remedialnya kapan ?”. Padahal saat itu ulangan belum dimulai. Yaa, begitulah keadaannya.

Kewajiban saya sebagai guru adalah membuat murid menjadi lebih pintar. Karena itulah, saya akan mencari cara apa pun yang mungkin bisa membuat murid-murid saya menjadi lebih pintar, termasuk Toni. Di dalam kelas, saya lebih sering mengunjungi tempat duduknya dibanding anak lain. Di luar kelas, saya lebih sering mengingatkan PR kepada Toni dibanding anak lain. Pokoknya, dia saya perlakukan berbeda.

Suatu kali di bulan Ramadhan, kepala sekolah meminta saya mengajar anak-anak khusus di jam khusus. Latar belakangnya adalah bahwa di bulan Ramadhan pelajaran di mulai 7.30 WIB sedangkan di hari biasa di mulai 7.00 WIB. Nah, anak-anak khusus itu tetap belajar mulai jam 7.00 WIB seperti biasa tapi khusus belajar matematika. Saya tidak menolak kebijakan itu.

Maka setiap hari selama bulan Ramadhan, Toni dan 3 teman lainnya belajar matematika di pagi hari. Mereka selalu disiplin. Tidak ada yang mengeluh. Hanya beberapa kali ada yang tidak datang karena alasan bangun kesiangan setelah Sahur. Seingat saya, Toni tidak pernah absen.

Selama hampir satu bulan kami belajar. Menjelang akhir bulan Ramadhan yang tersisa hanya Toni. Saya memang mempunyai kebijakan khusus di kelas khusus itu, yaitu anak yang sudah mencapai kemampuan tertentu, dalam hal ini kemampuan dasar yang diperlukan untuk pembelajaran dikelas, boleh berhenti mengikuti kelas khusus ini.

Menjelang ujian akhir semester genap, saya semakin cemas. Hampir setiap hari saya mengingatkan Toni untuk belajar lebih giat. Saya terpaksa melakukan itu karena saya melihat daftar nilainya di semester itu. Untuk memperbaiki nilai matematikanya, saya sering meminta dia belajar sepulang sekolah walaupun hanya 10-15 menit. Toni selalu menurut. Tidak pernah dia protes tentang itu.

Setelah ulangan umum, setiap anak punya hak untuk memperbaiki nilai-nilai ulangan hariannya. Sampai batas tertentu, mereka boleh meminta ulangan perbaikan kepada guru mata pelajarannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Toni. Dia menemui saya di hari-hari terakhir itu. Dia juga menemui guru-guru lain karena memang nilainya kacau di semua mata pelajaran.

Pembicaraan terakhir saya dengan Toni terjadi sehari sebelum rapat kenaikan kelas. Waktu itu saya sedang duduk dibawah pohon sambil memperhatikan anak-anak yang sedang mengikuti class-meeting. Toni mendekat sambil tersenyum seperti kebiasaannya di hari-hari biasa. Dia duduk tepat disamping saya.

”Ton, kamu tau artinya standar minimal ?”, tanya saya.

”Hmm...ngga Miss”

“Kalau batas paling jelek ?”

“Ngga juga Miss...”

“Kamu tau syaratnya orang boleh naik motor ?”

“ Tau Miss...harus bisa naik sepeda dulu ? ”

Selanjutnya Toni mulai bercerita tentang pengalamannya belajar naik motor. Cerita itu bahkan sampai mengungkap bagaimana awalnya dia bergabung dengan Gank Kutosari, suatu kelompok anak remaja yang sering berkumpul di sore hari di pinggiran saluran irigasi dan melanjutkan tour mereka ke berbagai tempat. Obrolan kami pun kembali ke masalah sekolah.
”Kalau kamu blom lancar naik sepeda, trus saya bolehin kamu naik motor, salah ga saya ?”

”Ga juga sich Miss...tapi nanti pas belajar naik motornya malah repot. Kan blom imbang”

“Kamu bakal marah ga sama saya ? Walopun temen-temen kamu dah naik motor semua ?”

“Paling kesel Miss, tapi ga marah...”

Waktu itu saya memperhatikan Toni dengan seksama. Tidak ada beban di matanya. Dia hanya menjawab apa yang saya tanyakan. Dia juga tidak punya rasa curiga terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Toni memang masih anak-anak. Pemikirannya masih sangat sederhana. Seringkali dia menjadi objek penderita di antara teman-temannya karena dia masih terlalu polos. Tapi, saya tahu bahwa saya memang tetap harus mengatakan sesuatu padanya.

”Ton, saya ga tau apa kamu bakal ngerti maksud saya atau ngga. Saya mau bilang bahwa kadang-kadang kita harus berhenti sejenak dari proses yang berjalan supaya kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Untuk mendapatkan hasil terbaik itu, mungkin kita harus mengorbankan waktu tapi kamu harus yakin bahwa pengorbanan itu ngga mungkin sia-sia”

Mendengar ucapan saya, Toni hanya senyum-senyum bingung. Lebih tepatnya cengengesan. Sesaat ada penyesalan karena telah mengeluarkan kalimat itu. Tapi, waktu itu saya memang sudah kehabisan akal. Saya tau berapa nilai matematika yang akan tercantum di rapotnya.

Setelah pembagian rapot saya hanya bertemu sekilas dengan Toni. Dia berjalan bersama orang tuanya sementara saya sibuk dengan pekerjaan saya. Dia sempat tersenyum pada saya. Saya balas dengan senyum paling manis. Itulah saat terakhir kami bertemu...

Di tahun ajaran berikutnya, saya dan Toni sama-sama pindah dari sekolah itu. Toni pindah ke sekolah lain di daerah itu sementara saya pindah ke Tangerang. Kira-kira 4 bulan setelah perpisahan itu Toni mengirim SMS pada saya.

”Ini nomer miss sarma ya ? Saya Toni, murid miss yang dulu di Lampung. Miss masa lupa sama saya ? di telepon ga diangkat2.padahal saya susah nyari nomer miss ini.saya mau belajar lagi sama miss.miss kapan kesini lagi? ”

Itulah Toni. Tidak ada dendam di hatinya. Bahkan ketika saya bertanya tentang hal-hal lain melalui SMS, dia menjawab semuanya dengan polos. Jawaban-jawaban itulah yang kembali memberi saya kekuatan dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang saya buat. Maklum saja, setelah peristiwa yang di alami Toni itu, saya cukup terpukul karena merasa menjadi penyebab gagalnya seseorang. Saya butuh waktu lama untuk menganalisa apakah kebijakan yang saya buat benar-benar bermanfaat atau tidak. Tonilah yang kembali menumbuhkan rasa percaya diri saya. Untuk alasan itu, Toni benar-benar menjadi motivator saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar