Wajib Baca

Mengenai Saya

Foto saya
Weblog ini asli diisi oleh Sarma Manurung

Senin, 30 April 2012

Sirungkungon : Indahnya hidup di Leher Danau Toba



Desa Sirungkungon

Sebagian Rumah Tradisional tetap dipertahankan
Nama saya Sarma Manurung. Saya lahir di sebuah desa di tepi danau Toba. Namanya desa Sirungkungon (dibaca : Sirukkungon). Kenapa dinamai Sirungkungon (artinya leher) ? Karena fisiknya memang seperti leher. Untuk mencapai desa dibutuhkan kira-kira satu jam dari pelabuhan Ajibata, Parapat. Desa ini adalah desa leluhur orang-orang Batak bermarga Manurung.
Meskipun memiliki pemandangan yang indah, Sirungkungon bukanlah desa wisata. Tampaknya kami pun tidak berniat menjadikannya desa wisata. Kami cukup nyaman dengan kondisinya sekarang dimana sekitar sembilan puluh kepala keluarga tinggal disini. Ada yang memilih menjadi petani yang menanam bawang merah, coklat dan kopi. Ada pula yang memilih menjadi peternak ikan di danau, istilah Doton. Oiya, ada juga yang memilih menjadi pegawai di sebuah tambak raksasa milik pengusaha Swiss.
Kegiatan tiap Sabtu : Belanja ke Ajibata
Setiap harinya ada kapal kecil yang pulang-pergi ke Ajibata, namanya kapal Demos. Dengan kapal ini, penduduk membawa hasil pertanian atau perikanan ke Ajibata untuk dijual. Setiap hari Sabtu, kami menyebutnya hari Pekan, ada kapal besar yang datang ke Sirungkungon. Kapal itu akan singgah di beberapa desa di tepi danau Toba. Kapal itu memuat puluhan penumpang yang sama-sama bertujuan ke pasar untuk membeli kebutuhan selama seminggu.
Begitulah kira-kira kehidupan di desa kami. Tampak biasa-biasa saja. Tapi kami selalu yakin bahwa kehidupan yang biasa-biasa ini tidak pernah terlepas dari kebaikan luar biasa Sang Pencipta. Bagaimana Sang Pencipta menciptakan danau Toba dengan segala kekayaannya sehingga bisa menjadi sumber hidup kami, selalu menjadi alasan bagi kami untuk bersyukur. Rasa syukur yang selalu ditanamkan orang tua kepada kami. Kami selalu diharapkan untuk menjaga kelestarian alam kami supaya tetap bisa menjadi tempat hidup bagi kami dan keturunan kami kelak.
Saya teringat ketika masih kanak-kanak melihat hasil panen bawang merah orang tua kami. Bawangnya besar-besar, sampai-sampai saya dan beberapa teman sering mengambilnya untuk dijadikan mainan, semacam bola. Tapi sekarang agak berbeda. Sudah beberapa kali Uda (artinya saudara laki-laki ayah) saya gagal panen bawang, dia bilang “panasnya itu makin gak jelas, jadi rusak mereka semua”. Kalau mendengar cerita seperti itu saya sangat sedih karena pastinya bukan hanya Uda saja yang mengalaminya, pasti petani lain pun mengalami. Berdasarkan artikel-artikel yang saya baca tampaknya desa kami pun sudah menjadi imbas dari Global Warming. Hmm… padahal kehidupan kami selalu biasa-biasa saja, tetap saja kena imbasnya L.
Selain bertani, mata pencaharian lainnya tentu dari sektor perikanan. Ada keluarga yang memiliki Doton. Setiap bulannya, ada puluhan ton ikan yang dihasilkan penduduk di desa kami, belum lagi ratusan ton yang dihasilkan tambak raksasa yang telah saya sebutkan itu. Hasil itulah yang membiayai kehidupan kami, mulai dari kebutuhan pokok sampai kebutuhan kiriman uang untuk anak-anak yang sedang bersekolah SMP hingga kuliah. Maklum saja, karena penduduk di desa kami tidak banyak maka hanya ada satu SD disini. Setelah lulus SD, anak-anak akan dikirim ke Ajibata atau Siantar untuk melanjutkan pendidikan. Mungkin pernah ada penyuluhan ke desa ini, sehingga hampir semua keluarga sepakat bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar hehehe…
Tentang tambak raksasa itu, beginilah ceritanya. Beberapa tahun lalu, penduduk Sirungkungon menyewakan sebagian lahannya ke perusahaan itu. Maka perusahaan itu bisa berdiri atas “ijin” dari keluarga besar Manurung. Perusahaan itu membutuhkan banyak karyawan tentunya. Itulah awal mula jadi banyak penduduk non-Manurung di desa kami. Mereka tinggal di desa kami karena desa kami adalah desa terdekat dengan tempat kerja mereka. Desa kami pun semakin ramai, walaupun tidak terlalu berdampak pada anak-anak. Toh, yang datang adalah pemuda-pemuda yang belum memilki anak yang bisa dijadikan teman bermain J. Keberadaan karyawan-karyawan ini tentu saja menjadi peluang baru bagi para ibu rumah tangga. Mereka mulai membuka warung-warung yang menjual kebutuhan para karyawan. Sama-sama untunglah …
Berenang di Kolam maha Besar
Menurut cerita bapak saya, tambak raksasa itu sudah menambah areal sewanya. Walaupun saya senang karena desa kami akan semakin ramai, tetap saja saya punya rasa takut. Saya takut kalau suatu ketika semua pinggiran desa kami ini akan disewa dan akhirnya kami tidak punya tempat berenang lagi. Padahal tempat berenang lah yang selalu kami banggakan tiap kali orang-orang dari Siantar atau Jakarta berkunjung ke desa kami. Anak-anak akan bilang “berenang lah disini, nggak usah bayar kayak ditempat kalian…”. Hmm… mudah-mudahan orang tua-orang tua kami tetap bijaksana dalam melaksanakan kontrak dengan pihak mana pun.
Itulah desa kelahiran saya. Tempat dimana saya selalu merasa nyaman. Merasakan betapa agung karya Tuhan. Merasakan betapa kecilnya saya di semesta ini. Juga merasakan bahwa perbuatan sekecil apa pun akan berdampak pada alam. Sekedar membuang bungkus sabun ke danau akan merusak komunitas ikan di danau. Alam semesta sudah menyediakan tempat ini untuk saya, yang bisa saya lakukan hanya menjaga kebersihannya. Saya tidak mau menjadi bagian dari perusak danau yang indah ini… Saya pun berharap orang lain tidak merusaknya dengan alasan apapun. Tidak dengan alasan tidak sengaja, atau dengan alasan pembangunan daerah. Saya selalu berharap pemerintah daerah menggunakan analisa yang matang sebelum member ijin untuk pembangunan sebuah tambak skala besar. Apakah alam masih bisa menerima “limbah” dari usaha-usaha itu. Apalah artinya membangun sesuatu demi menyelamatkan ekonomi satu generasi tetapi mengorbankan beberapa generasi dibawahnya ? …
Menikmati Keindahan Danau Toba ketika menuju Ajibata


Tidak ada komentar:

Posting Komentar