Desa Sirungkungon |
Sebagian Rumah Tradisional tetap dipertahankan |
Nama saya Sarma Manurung.
Saya lahir di sebuah desa di tepi danau Toba. Namanya desa Sirungkungon (dibaca
: Sirukkungon). Kenapa dinamai Sirungkungon (artinya leher) ? Karena fisiknya
memang seperti leher. Untuk mencapai desa dibutuhkan kira-kira satu jam dari
pelabuhan Ajibata, Parapat. Desa ini adalah desa leluhur orang-orang Batak
bermarga Manurung.
Meskipun memiliki
pemandangan yang indah, Sirungkungon bukanlah desa wisata. Tampaknya kami pun
tidak berniat menjadikannya desa wisata. Kami cukup nyaman dengan kondisinya
sekarang dimana sekitar sembilan puluh kepala keluarga tinggal disini. Ada yang
memilih menjadi petani yang menanam bawang merah, coklat dan kopi. Ada pula
yang memilih menjadi peternak ikan di danau, istilah Doton. Oiya, ada juga yang
memilih menjadi pegawai di sebuah tambak raksasa milik pengusaha Swiss.
Kegiatan tiap Sabtu : Belanja ke Ajibata |
Setiap harinya ada kapal
kecil yang pulang-pergi ke Ajibata, namanya kapal Demos. Dengan kapal ini,
penduduk membawa hasil pertanian atau perikanan ke Ajibata untuk dijual. Setiap
hari Sabtu, kami menyebutnya hari Pekan, ada kapal besar yang datang ke
Sirungkungon. Kapal itu akan singgah di beberapa desa di tepi danau Toba. Kapal
itu memuat puluhan penumpang yang sama-sama bertujuan ke pasar untuk membeli
kebutuhan selama seminggu.
Begitulah kira-kira
kehidupan di desa kami. Tampak biasa-biasa saja. Tapi kami selalu yakin bahwa
kehidupan yang biasa-biasa ini tidak pernah terlepas dari kebaikan luar biasa
Sang Pencipta. Bagaimana Sang Pencipta menciptakan danau Toba dengan segala
kekayaannya sehingga bisa menjadi sumber hidup kami, selalu menjadi alasan bagi
kami untuk bersyukur. Rasa syukur yang selalu ditanamkan orang tua kepada kami.
Kami selalu diharapkan untuk menjaga kelestarian alam kami supaya tetap bisa
menjadi tempat hidup bagi kami dan keturunan kami kelak.
Saya teringat ketika masih
kanak-kanak melihat hasil panen bawang merah orang tua kami. Bawangnya
besar-besar, sampai-sampai saya dan beberapa teman sering mengambilnya untuk dijadikan
mainan, semacam bola. Tapi sekarang agak berbeda. Sudah beberapa kali Uda
(artinya saudara laki-laki ayah) saya gagal panen bawang, dia bilang “panasnya
itu makin gak jelas, jadi rusak mereka semua”. Kalau mendengar cerita seperti
itu saya sangat sedih karena pastinya bukan hanya Uda saja yang mengalaminya,
pasti petani lain pun mengalami. Berdasarkan artikel-artikel yang saya baca
tampaknya desa kami pun sudah menjadi imbas dari Global Warming. Hmm… padahal
kehidupan kami selalu biasa-biasa saja, tetap saja kena imbasnya L.
Selain bertani, mata
pencaharian lainnya tentu dari sektor perikanan. Ada keluarga yang memiliki Doton.
Setiap bulannya, ada puluhan ton ikan yang dihasilkan penduduk di desa kami,
belum lagi ratusan ton yang dihasilkan tambak raksasa yang telah saya sebutkan
itu. Hasil itulah yang membiayai kehidupan kami, mulai dari kebutuhan pokok
sampai kebutuhan kiriman uang untuk anak-anak yang sedang bersekolah SMP hingga
kuliah. Maklum saja, karena penduduk di desa kami tidak banyak maka hanya ada
satu SD disini. Setelah lulus SD, anak-anak akan dikirim ke Ajibata atau
Siantar untuk melanjutkan pendidikan. Mungkin pernah ada penyuluhan ke desa
ini, sehingga hampir semua keluarga sepakat bahwa pendidikan adalah kebutuhan
dasar hehehe…
Tentang tambak raksasa itu,
beginilah ceritanya. Beberapa tahun lalu, penduduk Sirungkungon menyewakan
sebagian lahannya ke perusahaan itu. Maka perusahaan itu bisa berdiri atas
“ijin” dari keluarga besar Manurung. Perusahaan itu membutuhkan banyak karyawan
tentunya. Itulah awal mula jadi banyak penduduk non-Manurung di desa kami.
Mereka tinggal di desa kami karena desa kami adalah desa terdekat dengan tempat
kerja mereka. Desa kami pun semakin ramai, walaupun tidak terlalu berdampak
pada anak-anak. Toh, yang datang adalah pemuda-pemuda yang belum memilki anak
yang bisa dijadikan teman bermain J. Keberadaan
karyawan-karyawan ini tentu saja menjadi peluang baru bagi para ibu rumah
tangga. Mereka mulai membuka warung-warung yang menjual kebutuhan para
karyawan. Sama-sama untunglah …
Berenang di Kolam maha Besar |
Menurut cerita bapak saya,
tambak raksasa itu sudah menambah areal sewanya. Walaupun saya senang karena
desa kami akan semakin ramai, tetap saja saya punya rasa takut. Saya takut
kalau suatu ketika semua pinggiran desa kami ini akan disewa dan akhirnya kami
tidak punya tempat berenang lagi. Padahal tempat berenang lah yang selalu kami
banggakan tiap kali orang-orang dari Siantar atau Jakarta berkunjung ke desa
kami. Anak-anak akan bilang “berenang lah disini, nggak usah bayar kayak ditempat
kalian…”. Hmm… mudah-mudahan orang tua-orang tua kami tetap bijaksana dalam
melaksanakan kontrak dengan pihak mana pun.
Itulah desa kelahiran saya.
Tempat dimana saya selalu merasa nyaman. Merasakan betapa agung karya Tuhan.
Merasakan betapa kecilnya saya di semesta ini. Juga merasakan bahwa perbuatan
sekecil apa pun akan berdampak pada alam. Sekedar membuang bungkus sabun ke
danau akan merusak komunitas ikan di danau. Alam semesta sudah menyediakan
tempat ini untuk saya, yang bisa saya lakukan hanya menjaga kebersihannya. Saya
tidak mau menjadi bagian dari perusak danau yang indah ini… Saya pun berharap
orang lain tidak merusaknya dengan alasan apapun. Tidak dengan alasan tidak
sengaja, atau dengan alasan pembangunan daerah. Saya selalu berharap pemerintah
daerah menggunakan analisa yang matang sebelum member ijin untuk pembangunan
sebuah tambak skala besar. Apakah alam masih bisa menerima “limbah” dari
usaha-usaha itu. Apalah artinya membangun sesuatu demi menyelamatkan ekonomi
satu generasi tetapi mengorbankan beberapa generasi dibawahnya ? …
Menikmati Keindahan Danau Toba ketika menuju Ajibata |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar