“Ya Tuhan
pencipta semesta, temani aku selama perjalanan ini. Jika aku terpeleset hingga
terjatuh, bantulah aku untuk tetap tersadar. Jika kepalaku kejedot, bantulah
aku untuk tetap tersadar. Biarlah aku tetap sadar supaya bisa menyadari betapa
kecilnya aku di antara ciptaanmu yang besar…”
![]() |
Belakang : Synthia, Cina. Depan : Sarma, Shinta, Monic, Priska |
Ini cerita tentang perjalanan
dan pelarian. Cerita tentang 6 perempuan yang tiba-tiba sudah berada di sebuah
goa di Sukabumi. Namanya Goa Buniayu, persisnya ada di daerah Nyalindung,
Sukabumi propinsi Jawa Barat. Kami berenam : Sarma, Monik, Priska, Shinta,
Synthia, dan Cina.
Kami memulai “petualangan”
sekitar pukul 10 pagi. Lengkap dengan kostum ala Naruto dan ditemani 2 orang
pemandu. Ketika berangkat, tentu kami sangat sumringah, maklum saja, kami anak
gunung, bukan anak gua hehehe…
Perjalanan di mulai dari mulut
gua, yang terletak kira-kira 200 meter dari pos. Kami harus turun secara
vertikal sedalam 18 meter dari mulut gua. Tampaknya hal biasa, tapi ternyata
tidak. Ketika kita harus memasuki sebuah tempat dimana kita tidak bisa berpijak
dan tidak bisa melihat apa-apa, ternyata sungguh mengerikan. Jantungku seolah
berhenti, ketika bergantungan di tali mungil itu. Untunglah kami semua tetap
waras ketika sampai di dalam gua, walaupun tetap mengelus-elus dada hahaha…
Kami mulai menyusuri gua,
melihat begitu banyak keajaiban. Stalagmit, stalagtit, pasir berkilau, sampai
sungai di dalam gua. Aku begitu kagum dengan isinya, bukan hanya karena
keindahan bentuk benda-benda itu, tapi juga karena proses terbentuknya
keindahan itu. Bayangkan, selama ribuan tahun, tetesan air membentuk
bongkahan-bongkahan karst itu.
![]() |
kompor dengan bahan bakar air :) |
Di dalam gua itu, aku melihat
stalagtit berbentuk wortel, kanopi, ikan pesut, sampai stalagtit yang bisa
berbunyi seperti angklung. Kulihat juga pasir-pasir seperti Kristal yang
berbentuk istana. Kurasa, orang-orang India pernah ke gua ini, sehingga
terpikir untuk membangun Taj Mahal. Mungkin …
![]() |
Didepan pasir kristal |
Seperti batu karang, ternyata
stalagtit dan stalagmite sangat kuat. Tanpa sepengetahuan pemandu, aku beberapa
kali memukul-mukul dinding-dinding dalam gua, hasilnya ? tanganku luka, lecet.
Aku pun sempat penasaran dengan kekuatan batu-batu di tanah, ternyata kuat.
Tidak pecah walaupun aku melompat-lompat di atasnya. Kagum dan bingung, mungkin
kata sifat yang tepat untuk menjelaskan perasaanku saat itu.
Setelah berjalan sekitar 2 jam,
kami mulai memasuki medan yang cukup menyebalkan. Lumpur mulai bertebaran
dimana-mana. Kemiringannya pun semakin tinggi. Mulai susah untuk berjalan.
Beberapa kali kami terpeleset. Tapi, kami masih bisa tertawa dan menganggap itu
rintangan biasa.
Selama perjalanan, aku lebih
sering berada persis dibelakang pemandu depan. Alasannya sederhana, karena aku
takut gelap dan hanya pemandu yang membawa headlamp. Suatu ketika, di areal
yang sudah lumayan sulit, aku duduk menunggu teman-teman lain. Kulihat, pak
pemandu itu melakukan ritual khusus, mungkin memohon pada Sang Pencipta agar
semuanya baik-baik saja. Gerakan tubuhnya, dan komat-kamit mulutnya
mengingatkanku ketika Bapakku hendak melewati sungai yang besar. Sejenak aku
bengong dan mulai berpikir bahwa kami akan melewati sesuatu yang sangat sulit.
Setelah kami semua berhasil
meraih tempat pak pemandu depan, kami istirahat sebentar. Setelah itu,
benar-benar melelahkan. Kami melewati sebuah celah sempit, terjal dan
dibawahnya sungai yang katanya dalam. Aku bersusah payah melewati celah itu.
Menurutku, itulah rintangan terberat yang kuhadapi selama perjalanan di gua
itu. Mendebarkan. Salah langkah, gawat …Cina bahkan mengatakan “itu serius ?
gue baru ngelewatin itu ?”. Sesaat
setelah berhasil melewati celah itu.
Jalur-jalur berikutnya semakin
sulit, semakin menyebalkan, semakin melelahkan dan semakin mendebarkan. Langkah
kami semakin pelan dan suara kami semakin hilang. Jalur dimana kami melewati
tanjakan berlumpur, tidak akan kulupakan.
Dalam setiap perjalanan, aku
hanya tidak ingin merepotkan orang lain. Aku tidak mampu menolong orang lain
yang kesusahan. Menurutku, aku memang tidak ditakdirkan untuk menolong rekan
seperjalananku. Sama seperti kejadian siang itu. Aku melihat beberapa kali
teman-temanku terjatuh dan berteriak karena tidak sanggup untuk melangkah. Tapi,
aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya menunggu pemandu membantu mereka
satu-persatu.
Aku melihat kepanikan Cina
ketika melewati celah berbatu, melihat kepanikan Shinta ketika di lumpur, dan
melihat bagaimana tubuh Synthia di seret dengan kasar oleh pemandu karena tak
ada lagi cara untuk membantu dia. Dan aku, tidak bisa melakukan apa-apa. Aku
tidak kuat untuk menarik siapa pun. Menyedihkan. Dalam perjalanan itu, aku
hanya bisa melakukan dua hal. Berjalan di depan dan menunjukkan jalur mana yang
lebih nyaman dilalui serta membawakan sepatu boot teman-temanku ketika melewati
jalur berlumpur. Itu yang kubisa L.
Ketika di tanjakan berlumpur,
aku dan Cina duduk cukup lama. Menunggu teman-teman melewati lumpur sialan itu.
Susah sekali. Maju satu langkah, terpeleset tiga langkah. Dengan susah payah,
mengangkat kaki yang tertanam di lumpur. Kami melihat mereka begitu lelah, tapi
tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya menunggu. Ketika tiba giliran Priska, kami benar-benar
cemas. Lama sekali dia ada di dalam lumpur. Kakinya tidak bisa digerakkan.
Monik berusaha menggali lumpur dikakinya, tapi telapak kakinya seolah menempel
di lumpur. Aku begitu sedih ketika kudengar dia berteriak “gue mau nangis … gue
gak bisa. Gak tau harus ngapain. Gue mau nangis …”. Ah Tuhan, bukan untuk itu
kami datang. Kuarahkan pandanganku ke
tempat lain untuk menenangkan diri.
Menurut perkiraanku, kami butuh
40 menit lebih untuk melewati lumpur itu. Setelah semuanya bebas, rasanya
begitu lega. Bersiap untuk rintangan berikutnya. Lumpur terus ada sampai di
pintu gua. Rintangan terakhir yang harus kami lewati adalah tangga bambu. Harus
kami panjat bersama dengan lumpur berat di tubuh dan rasa cemas kalau-kalau
tangganya roboh. Di tangga inilah, kulihat teman-teman di seret. Kurasa itu
sakit.
Menunggu teman-teman.
Kubisikkan pada Cina “gue yakin lihat cahaya”. Dengan ngos-ngosan dia ikut
melihat ke arah yang kutunjuk. Tampaknya dia tidak percaha hehehe. Aku melangkah
beberapa tapak lagi, dan kulihat ada warna favoritku, hijau !!!!... Aku yakin
itu pohon. Kukatakan pada Cina supaya dia bergegas, karena aku sudah melihat
pohon. Walaupun berada puluhan meter di atas kepalaku, aku yakin itu pohon.
Kusampaikan kabar baik itu ke mereka semua. Berteriak-teriak. Lupa kalau di gua
tidak boleh gaduh !
Seperti cerita-cerita
petualangan, semua akan indah pada waktunya. Semua akan bahagia setelah
petualangan selesai. Begitulah perasaan kami. Begitu bahagia ketika akhirnya berkumpul
di atas tanah dan melihat langit. Setelah empat jam lebih berada dalam
kegelapan, akhirnya bisa melihat terang lagi. Gembira !!!!
![]() |
Gembira !!! |